Sabtu, 14 November 2009

they come again,,,

here it comes again,,,!!
here they come again,,,!!

are you there??
to save me, or even just watch me???

but,no sign of your appearance,,,,,
where are you?
It cold, already,,,

Hush, rush, crashh….!!!
They grabbed me,,,

Still,
I can’t see you coming,,,

Minggu, 04 Oktober 2009

mon ange


"Dalam tiap keharuan yang membiru kulihat bilur-bilur kesedihan di matanya. Mata itu, mata yang selalu basah, begitu bening dan jernih. Ah, apa gerangan yang tersimpan dibalik sepasang mata indah itu. Kebahagiaankah? Atau malah sebaliknya? Tak seorangpun dibiarkan melihat lebih jauh dari mata bening jernihnya itu. Senyum yang terulas di sepanjang deretan gigi putih bersihnya itupun tampaknya tak mampu tuk menguak tabir rahasia hidupnya."

Pagi itu kulihat dia berjalan sendirian di halaman berumput di belakang Menara Lonceng. Keriut sepatunya diantara rerumputan basah itupun bisa menjadi suatu nada yang indah bagiku di hari sepagi itu. Kemudian tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon Akasia. Memegangi bagian kepalanya, dan tiba-tiba ia menangis. Uh, apa yang terjadi pada bidadari pagiku? Mengapa ia membuat pagi yang cerah ini menjadi hampa seketika saat dijatuhkannya bulir-bulir air mata dari sepasang mata indahnya itu. Mata indah itu tak pantas berduka maupun terluka. Ingin kudatangi dan peluk dia. Tapi bagaimana bisa? Aku begitu tak mampu, dan lagipula memang tak pantas tuk berada di sampingnya. Kuurungkan niat tuk mendatangi dan memeluknya, dan tetap memilih tuk mengamatinya saja dari sini, dari jauh. Hingga dia tak kan pernah mengetahui bahwa aku ada di sini, memerhatikannya. Ia menutupi mukanya dengan sehelai saputangan, dan tangisnya semakin menjadi. Ia menangis sesenggukan. Aku iba padanya. Sungguh. Tapi yang terjadi pada menit berikutnya malah tangisnya berhenti seketika. Muka polos dan lucu itu disekanya dengan sapu tangan hingga tak satu tetes air matapun tersisa di wajahnya. Ia menarik nafas panjang, berusaha menghirup sebanyak-banyaknya oksigen. Seakan itu akan dapat menguatkannya. Dan benar saja, ia kelihatan lebih tegar pada detik berikutnya. Matanya membulat dan bibirnya melengkung membentuk senyum lega. Ia telah bangkit, berdiri dengan tegak. Hanya berdiri saja. Disitu. Berjam-jam. Matanya dipejamkan dengan wajah menengadah dan senyum di bibir manisnya itu. Rambutnya dipermain-mainkan oleh angin. Ia kini benar-benar terlihat bagai bidadari bagiku. Tapi ia hanya berdiri saja di situ. Lama. Seperti menanti sesuatu. Sesuatu yang begitu berarti buatnya. Buat seorang bidadari

Hari kemarin, aku juga sedang mengamatinya di halaman ini. Halaman berumput di belakang Menara Lonceng. Ia sedang duduk sendirian di bawah batang pohon Akasia. Pohon yang sama dengan hari ini. Tapi saat itu kulihat ia sedang terlelap, kukira. Matanya terpejam, menunujukkan kelopak mata yang berhiaskan bulu mata lentik dan panjang. Cantik nian. Namun sayang, sedang bersedih kelihatannya. Mulutnya dikatupkan, sesekali bergetar menyebut sesuatu. Tangannya disedekapkan di depan dada, seperti memeluk sesuatu. Namun kulihat tak ada satu benda pun yang tengah didekapnya. Kemudian, satu tetes air bening jatuh dari mata bening yang tengah tertutup itu. Jatuh tepat dalam dekapnya. Ia membuka matanya. Berkaca-kaca. Aku berlari, segera. Namun bukan ke arahnya. Aku berlari membelakanginya, menjauhinya. Aku tak tahan melihat mata bening itu sedang terluka. Aku sangat peduli padanya, namun tak mampu menunjukkan diri di hadapannya. Aku tak pantas. Sangat tak pantas….

Dua hari sebelum hari ini, di halaman berumput ini. Bidadari pagiku bersama seorang laki-laki duduk dan saling berbicara di bangku, di bawah pohon Akasia besar. Bayangnya menaungi mereka berdua. Satu sama lain saling memperhatikan dengan khidmat atas tiap susunan huruf tak alfabetis yang meluap dari bibir masing-masing. Diselingi tatap dan harap, satu sama lain berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Keduanya akhirnya mengangguk, tanda telah memiliki pemahaman yang sama atas hal yang tengah dibicarakan. Tapi tiba-tiba jemari lentik bidadariku diraih oleh orang itu. Digenggam. Lama, kemudian baru dilepaskan. Aku berontak! Meronta! Tak rela bidadariku disentuh orang itu. Tapi bidadariku hanya tersenyum, senyum pahit menurutku. Karna matanya tak tunjukkan pancaran bahagia. Ada apa, Bidadari? Katakanlah sesuatu, biar aku tahu isi hatimu. Walau tak bisa kuobati namun dapat kudengar dan perhatikan agar legakan hatimu. Katakan, Bidadari. Mata beningmu tak mampu dustaiku. Kemudian tiba-tiba orang itu melangkah, menjauh dari bidadariku. Sesekali ia menoleh. Namun bidadari pagiku nan indah tak bergeming sama sekali. Mulutnya yang terkatup rapat berusaha gumamkan sesuatu. Sesuatu yang tak dapat kutangkap maknanya dengan jelas. Tapi satu yang kuketahui dengan pasti, bidadariku sedang berputar-putar dalam pusaran keharuan yang membiru. Yang hadirkan bilur-bilur kesedihan dalam mata bening dan jernihanya yang kini berkaca-kaca. Langkah orang itu semakin cepat meninggalkan bidadariku sendirian. Bidadariku masih berdiri, di sana. Sendirian. Tanpa mampu kuhampiri.

Tiga hari sebelum hari ini, ia juga berada di halaman berumput ini. Namun, kala itu ia menari penuh riang. Tertawa gembira bersama dedaunan dan sapuan angin hangat khas musim semi. Riangnya menambah hangat perasaanku kala itu. Tapi tentu saja, aku tetap di sini, mengamatinya. Karena ia disana menari dan menyenandungkan ritme-ritme hangat, bersama seseorang lain. Bukan, itu bukan aku. Aku yakin itu. Orang itu bukanlah aku...


(this one is still my fave.
this story was written in 2006, when everything seems to be good)

Kamis, 01 Oktober 2009

tak perlu membahasakan, rasakan saja

Biar akan kusimpan saja
Kutelan, kulumat, hingga membuncah, pecah
Merobohkan dinding pertahanan yang memang sudah lemah

Biar akan kurasakan saja hempasannya
Kutahankan saja perihnya
Dan tinggal kunikmati pecahannya,
Memunguti remahnya,
yang menghambur tak berarah ke udara hampa

sssh, jangan lagi bicara
bukan itu cara kita mentransformasi rasa
inilah satu-satunya cara kita merasa
dengan rasa saja
hanya rasa

Perlahan mata kita yang sebelumnya berputar kian-kemari mencari-cari objek untuk saling mengalihkan perhatian akhirnya menemukan jalan untuk saling bertemu. Untuk sesaat saling menatap, menyelami rasa yang menunggu untuk menyeruak. Tiba-tiba, pengap.... dan aku tak mampu menahannya lebih lama lagi. Kutumpahkan saja tetesan bulir hangat dari mataku yang memang sudah menyesak-nyesak sedari tadi, semenjak kita berdua terduduk tanpa kata di sini. Aku tergugu,,,
Kau hanya diam. Aku ingin menjerit, namun pada detik berikutnya yang terdengar dari mulutku hanyalah suara erangan lemah, tak sanggup lagi membahasakan rasaku. Aku putus asa, kembali menekur. Tak berani lagi menatap matamu yang berbahasa lebih dalam daripada tiap kata yang berusaha kulontarkan. Aku menyerah,,
Kau masih diam, aku mengangkat kepala dan kau masih dalam posisi yang sama, menatapku lekat-lekat. Matamu berkaca-kaca, namun bibirmu melengkung membentuk senyum khas dirimu. Bukankah ini tak lazim, kau menangis tanpa benar-benar berairmata dengan senyum menghiasnya. Tak sadar, aku tengah menatap dalam, ke dalam matamu. Sesaat kemudian kau genggam tanganku, dan hangatnya menggelenyar, menggetarkan. Aku tersentak,,
Inikah jalan yang kau pilih untuk menjelaskan padaku, bahwa rasa akan tetap ada meski tak ada dan tak mungkin akan ada jalan untuk membahasakannya. Ketika semua jalan telah menunjukkan bahwa semua ini akan berakhir, rasa itu akan tetap ada. Aku menyiratkan tanya penuh harap. Kemudian tatapan itu, hanya tatapan itu saja, yang pada akhirnya menyudahi pertemuan kita
“Rasakan...hanya rasa saja”, bisikmu lembut…
Sesaat ku pahami.
Tak perlu bahasa, cukup rasakan
rasa yang kita rasa…
dan aku pulang dengan segudang perasaan.. membuncah, melimpah ruah di dadaku.
Biarkan saja ia menghempasku. Akan kurasakan saja. Kunikmati saja. Karna hanya itulah satu-satunya jalanku untuk membawa serta dirimu. Dimanapun, dan entah bersama siapapun dirimu. selamanya..
Mungkin bintang itu terlalu tinggi buatku,
mungkin sejak dahulu bintang itu memang bersinar bukan untukku,
mungkin ia memang bukan untuk terengkuh oleh gapaiku,
mungkin ia juga bukan hadir untukku di setiap malamnya
maka, biarlah,,,
aku berujar pasrah

Aku melongok ke langit, tempat di mana ia berada setiap malamnya
Hanya dapat memandangnya saja melalui sela jendela kamar tempatku selama ini terbaring
Untuk sekali lagi berkata, biarlah,,,,
Sejatinya aku memang tak membutuhkan bintang yang berada sangat jauh dari gapaiku..
yang cahayanya begitu menyilaukan namun bukan tuk kugenggam dan enyahkan saputan awan ini dariku
yang hanya sekedar memandang angkuh terhadap aku dan kesakitan yang semakin menggerogoti kesadaranku
yang tak akan dan tak pernah menghampiriku untuk tawarkan beningnya

Maka, aku tak lagi menginginkannya,
berusaha untuk tak lagi menginginkannya..
Tidak dengannya, bukan bintang itu..

Biar saja kucari diantara semburat cahaya yang berserakan,
Mungkin akan ada sedikit untukku
Biarlah yang tak menyilaukan, namun rela menuangkan cahaya di tengah malam-malam gelap yang selama ini slalu kulalui dengan getir
Rela mengisi gelas kacaku dengan pijarnya walau hanya
untuk kuteguk habis esok hari, sebagai pengobat kepahitan yang telah bermalam-malam kutelan

Maka, selamat malam, bintang..
Kututup malam ini dengan membelakangimu…

Minggu, 30 Agustus 2009

selamat datang,,,


saya sudah terlalu lama memendam berbagai macam perasaan yang mendesak-desak ingin menyeruak di antara susunan huruf-huruf tak berurutan ini. rasanya sudah terlalu lama saya mengabaikan perasaan-perasaan yang ingin keluar itu, hingga hati dan kepala ini rasanya sudah semakin berat menahan semuanya agar tidak menghambur tak beraturan ke alam raya. makanya, agar tidak menghambur tak beraturan dan mengenai sesiapapun yang sedang sial berada dalam radius 1meter dari saya, maka saya susun saja satu persatu rasa itu untuk saya ungkapkan di sini... untuk saya ungkapkan dengan cara yang lebih baik, lebih indah..(mudah-mudahan)

so, rendons les choses meilleures et plus gentilles,
let's make things better and nicer.. ;)