Kamis, 25 Agustus 2011

ingin lelap malam ini

aku ingin lelap malam ini di tengah tengadah tanganmu yang tak hanya memangkuku saja
aku ingin lelap malam ini di tengah tengadah tangan dinginmu yang hujamkan ngilu sekaligus nyala yang tak luput sayatkan pilu
aku ingin lelap malam ini di tengah tengadah tanganmu saja meski  aku hanya sekelumit cerita lebih kecil dari bagianmu
aku ingin lelap malam ini di tengah tengadah tanganmu
itu saja

di persimpangan idealisme dan tuntutan realitas


//mademoiselle lia


Tuhan, semoga nanti aku menjadi lebih baik dari mereka dalam memahamkan ilmu pada jiwa-jiwa yang sejatinya penuh antusiasme itu”, sebait doa yang tak berlebihan menurutku, yang sempat terucapkan olehnya di waktu itu. Sebait doa yang merupakan refleksi dari sebuah kegusaran akan sebuah sistem, sistem pendidikan yang menjejalkan ilmu untuk kemudian dilupakan pada esok harinya. Sebuah kegusaran yang mewujud dalam sebait doa dan mengejawantah dalam bentuk kerja keras dalam melakukan persiapan hingga ke detil terkecil. Tak heran, perfeksionisme sangat menonjol dalam prosesnya kala itu.

Tetapi apa yang kusebutkan  barusan itu adalah cerita dulu. Beberapa bulan lalu, di saat idealisme dan perfeksionisme berkolaborasi erat membentuk tindakannya. Sekarang, kedua hal itu tengah diuji oleh sebuah elemen bernama realitas. (anggap saja saat ini aku tengah tidak berbicara tentang realitas dari kacamata post-positivisme). Katakan saja, satu hal sudah pasti gugur, yaitu perfeksionisme. Tak mudah dan tak pernah mudah bertahan dengannya di saat manapun di dunia. Jadi, aku maklum dan sangat mafhum ketika ia kehilangan satu elemen itu. Tapi aku yakin,  setidaknya ia ingin mempertahankan satu elemen lagi, yang tanpanya pastilah ia dan segala tindakannya akan kehilangan makna. Idealisme.

Berbicara idealisme pasti tak kan pernah lepas dari cobaan. Maka berbicara idealisme adalah berbicara seberapa mampu sang aktor bertahan memegang teguh keyakinan di tengah gempuran banyak hal. Mulai dari keharusan dan tanggung jawab yang mendefinisi realitas, hingga ke hal-hal kecil namun tak pernah remeh serta persiapan-persiapan kecil namun bermakna besar. Akan ada dan selalu ada hal-hal bernama realitas yang mencoba mendikte, mengalihkan, membelokkan sang aktor dari satu tujuan utama yang telah jauh-jauh hari ditetapkan. Tujuan utama yang tentu saja tak boleh dikhianati oleh jiwa manapun yang mendamba kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Tujuan utama yang terlalu berharga untuk dikorban demi letupan-letupan singkat realitas.

Maka ketika intensitas benturan-benturan realitas sudah semakin berulang, kembalikan saja hal ini pada ketelanjangan mengenai siapa sejatinya diri kita. Mengenai ke-ada-an kita, ke-manusia-an kita. Bukankah tak pernah, dan tak kan pernah ada nirwana setidaknya di dunia yang serba fatamorgana? Oleh sebab itu tetap peluk eratlah idealisme itu tak peduli sekeras apapun hantaman realitas. Tetap peluk eratlah idealisme itu tak peduli akan seperti apapun hasil akhirnya nanti, sebab kita adalah makhluk-makhluk yang tumbuh dan hidup dengan proses, (baca ‘yang instant hanya mie instant’). Bukan hasil akhir yang diperhitungkan, melainkan tindakan-tindakan nyata yang berarti.

“It is not who we are underneath,
but what we do that defines us”-bb.

Selasa, 23 Agustus 2011

Pelangi itu bernama jingga


//C’est


Jika memang jingga yang kau kejar,
ia ada di ujung sana
tengah menunggu saja
sesiapa yang cukup pongah untuk rengkuh dunianya

Jika memang jingga yang kau kejar,
turunkan sauh di sini
sebab takkan tergenapi sisa perjalanan dengan kapalmu
ia tidak dalam tak juga terlampau dangkal
namun melemahkan melelahkan
berjalan sajalah sendiri

Jika memang benar jingga,
Kayuhlah,lepaslah,tinggallah
kemudian biarkan hempas menggamitmu
biarkan debur meluruhmu
biarkan debu menyapumu

sebab ia tak lebih dari jingga,
yang tengah menunggu

tidak perlu punggungi
tidak juga ukirkan siluet pengap gelap,
ia tetap jingga
yang menunggu

Leona yang tengah murung


#
Leona yang tengah murung meratap-ratap menghentak-hentak
Sejenak terhenyak dengan pandangan tengah tersaji di hadapan
Kedua burung kecil warna-warni itu tengah berkasih-kasihan satu sama lain
Mematuk-matuk menengadah mencicit-cicit mengepak-ngepak
Demi memerah mukanya melihat kelakuan mereka

#
Leona yang tengah murung beranjak keatap
Berteriak-teriak pada pohon rambutan rimbun yang tak lagi memberi buah
Berharap mampu tunjukkan sedikit belas kasihan
Sudahlah hidup berputar sendiri di sekelilingnya
Tak pula teranggap ke-ada-annya

#
Mau apa lagi pikir 
Leona yang tengah murung
Kulangkahi saja cerita kukangkangi saja derita
Hendak apa?

#dan ketika...


Sosok perempuan paruh baya teronggok di jalan raya Merayapi lalu lalang para pejalan fana yang sibuk berlari,menyikuti,menggasaki, menggerogoti satu sama lain Terhamparlah diantaranya Serupa siput berupaya beringsut memaksa kaki-kaki keriput menyambangi jingga di ujung tepian

Pukul satu siang dunia fisika Artinya telah ia lewati separuh jatah harinya Kini menjalani sisa ruang dengan sisa umur yang masih dipunya Pukul satu siang dunia fisika Tangisnya pecah Tak kuasa menahankan sikutan gasakan seluruh pejalan fana dunia fisika Pukul satu siang dunia fisika Ia tertumbuk pada satu garis linear bernama hampa