Kamis, 06 Juni 2013

tentang berjuang



 Cukup lama juga saya meninggalkan aktifitas menulis. Tergantikan setumpuk kegiatan khas ibu rumah tangga. Terbangun di pagi yang masih cukup muda, bersegera menyiapkan segala keperluan suami dan seorang balita kami. Menyongsong siang, masih disibukkan dengan balita yang sedang sangat aktif, memasak hidangan untuk seharian itu, dan membereskan rumah dari kekacauan yang ditinggalkan si bocah kecil. Saat malam mulai datang, pun masih harus berdiri tegak melupakan penat menyiapkan keperluan suami yang baru saja pulang, serta tetap harus meladeni si kecil yang tak pernah kehabisan energi. Maka, habis, kosong, kuras, seluruh energi ini. Tertinggal sisa, yang dibawa rebah ke tempat tidur.

Sesekali meneguhkan tekad untuk menulis lintasan-lintasan ide yang tak pernah berhenti lalu lalang, namun selalu terkalahkan oleh kantuk yang ikut menyergap saat me-nina bobokan balitaku tersayang. Lagi-lagi seluruh ide hari itu lenyap bersama kelopak mata yang mulai terpejam. Tapi entah kenapa, malam ini, malam yang sama seperti malam-malam lainnya, seperti ada kekuatan lebih dahsyat dari biasanya yang menggerakkan tangan saya untuk menggapai laptop, dan mulai mengetik beberapa baris kalimat pembuka ini. So here I am, di sinilah saya pada malam hari rabu, 5 juni 2013 pukul 23.30, mulai menulis, lagi  :)

Kurang lebih telah dua tahun kami menjalani pernikahan, kurang lebih dua tahun pula saya telah belajar banyak tentang hidup.
Sungguh semuanya terlihat dan terasa berbeda, kini. Saya lebih merasai, rasanya benar-benar berjuang (kalau boleh dibilang sampai berdarah-darah). Sebelumnya hidup saya mudah, way too easy, jauh terlalu mudah untuk dikatakan telah “hidup”. Keinginan dan pemenuhan keinginan selalu berjalan beriringan. Jika di saat ini saya ingin sesuatu, maka paling lambat esok harinya, hal itu telah ada di genggaman saya. Way too easy.. Sepertinya sejak kecil, mama dan papa saya yang baik hati telah berusaha sedemikian keras hingga anaknya tak perlu merasakan pahit dan getirnya hidup. Terlebih, di masa kuliah yang sangat dan terlalu santai telah begitu melenakan sekaligus mengajarkan pola hidup terlalu enak. Kiriman uang yang selalu lebih dari cukup dan tak pernah putus, telah menjadi kan gaya hidup materialistis-hedonis hinggap pada diri saya. Setelah lulus kuliah, saya bekerja di perusahaan swasta dan tinggal bersama orang tua. Gaji saya utuh, tak pernah terusik karena soal makan dan kebutuhan lainnya, menjadi  urusan orang tua. Bisa bayangkan apa yang dapat dilakukan perempuan lajang yang semua kebutuhannya terpenuhi dan rekening masih full. Ya, hepi-hepi. Mulai dari nonton film di bioskop, jalan-jalan, makan-makan, berjam-jam di salon, beli sepatu, tas dan baju. Ahhh, benar-benar bukan tingkah laku yang saya banggakan.  Pola pikir yang sangat salah, namun terasa sangat nikmat saat itu.  There’s no way I could stop it.

Mungkin, mungkin nih yaa.. satu-satu nya jalan yang Tuhan lihat untuk merubahku adalah dengan cara “menceburkanku” ke dalam hidup yang sama sekali berbeda. Yang tak kukenal sama sekali sebelumnya.

Setelah menikah, aku tinggal jauuuhhhh sekali dari orang tuaku yang selama ini selalu “menjagaku” dari perihnya hidup. Tak ada lagi sokongan dana. Bukan, bukan karena mereka tiba-tiba pelit, tetapi lebih karena aku sungguh sungkan merepotkan mereka. Mulailah kami menyusun batu bata hidup kami sendiri.Hiidup dari hasil keringat kami sendiri. Suami bekerja di perusahaan multinasional, sedangkan aku mengisi waktu dengan menjadi pengajar bahasa di salah satu lembaga bahasa asing. Kami tinggal di daerah perkampungan di pinggiran kota Depok, berbaur dengan puluhan dan ratusan orang lainnya yang juga tengah berjuang demi hidup mereka.  Semuanya masih terasa cukup menyenangkan, sampai kami memutuskan bahwa aku akan berhenti bekerja dan berada di rumah mengurus bayi mungil kami.

“tangga terbawah rantai makanan”, begitu istilahku untuk orang-orang macam kami ini. Orang-orang yang jumlahnya sungguh sangat banyak, namun lemah dalam hal daya tawar. Terpinggirkan oleh mereka yang kuantitasnya kecil namun sungguh berdaya besar.

Cultural shock, homesick, loneliness adalah tiga hal yang menimbulkan perasaan insecure dalam diriku. Sungguh, masa-masa terkelam itu rasanya menyakitkan. Namun seperti kata bijak, segala sesuatu yang tak membunuhmu membuatmu lebih kuat. Itu juga terjadi padaku. Toh nyatanya aku tidak, atau belum mati , di tengah semua kesuraman itu. Itu membuatku lebih kuat untuk berdiri di sini, saat ini. Kuhabiskan banyak waktu kosongku dengan menggali passion yang sempat hampir padam dalam diriku, membuat kue. Ya, satu hal itu bisa menenangkanku di tengah gilanya usaha perjuangan untuk hidup ini. tak peduli punggung pegal dan mata siwer sehabis membuat dan mendekor cake, aku tak pernah kapok untuk melakukannya lagi,lagi,lagi,lagi,dan lagi (oohhh, kastamer-kastamerku tersayang “gunakanlah” aku untuk mewujudkan cake impian kalian, aku siapp tempurrr !!!)

Yaahh, kembali ke “tangga terbawah rantai makanan”, aku menikmati menjadi bagian darinya. Menikmati merasai ada kalanya kehabisan beras, menikmati sistem uang belanja dengan penjatahan per hari, menikmati berkumpul bersama ibu-ibu lain yang juga mengeluhkan masalah yang kurang lebih sama. Ahhh, tak kan bisa senikmat ini bila tak mampu berdamai dengan kenyataan.  Di sini, di “tangga terbawah rantai makanan” ini, tak ada gengsi-gengsian karena memang inilah ada seada-adanya hidup. Tak perlu khawatir akan hari esok karena selalu ada Tuhan yang maha mencukupkan. Tak perlu khawatir akan hari esok karena memang sejatinya kita tak memiliki apapun di dunia ini.

>> bermimpi, berjuang, bersabar, demikian kata seorang teman yang kupatri dalam-dalam di hati.

Sudah pukul 00.30. tepat satu jam lamanya aku menulis. Sekarang saatnya merebahkan badan dan istirahat. selamat malam dunia…. :)

2 komentar:

dyananda mengatakan...

Estiiiiii I feel you, i feel you!!! Serupa tapi tak sama, mengerti benar apa itu insecure saat jadi istri/ibu. Beras habis, duit dari suami, krucil gabisa diem, keAkuan yg mulai tergerus, jadi bagian dr masyarakat biasa, orang biasa, emak2 biasa. Tp justru dalam identitas massal ini, kutemukan securities, nyaman. Nyaman jd org biasa, dg masalah2 rumah tangga yg jg dihadapi jutaan org. Ternyata nikmat ya menyadari diri kita ini biasa, lemah, saling bergantung; iya ga? :p

Estie Dekalisa mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.