Jumat, 11 November 2011

Blowing in The Wind


How many roads must a man walk down
Before they call him a man?
How many seas must a white dove sail
Before she sleeps in the sand?

How many times must the cannonballs fly
Before they're forever banned?
The answer, my friend, is blowing in the wind
The answer is blowing in the wind.

How many years must a mountain exist
Before it is washed to the sea?
How many years can some people exist
Before they're allowed to be free?

How many times can a man turn his head
and pretend that he just doesn't see?
The answer, my friend, is blowing in the wind
The answer is blowing in the wind.

How many times must a man look up
Before he can see the sky?
How many ears must one man have
Before he can hear people cry?

How many deaths will it take till he knows
That too many people have died?
The answer, my friend, is blowing in the wind
The answer is blowing in the wind.

Rabu, 05 Oktober 2011

Renungan 255 - Hasan Aspahani

*Taken from Hasan Aspahani >sejuta-puisi.blogspot.com

APA yang harus ada di kepala saat seseorang menulis puisi? Apakah ia harus menentukan ia hendak menulis sajak liris atau sajak protes? Apakah ia hendak menulis untuk dirinya sendiri atau untuk siapa yang kelak membaca sajaknya? Apakah ia harus menimbang-nimbang apa kelak reaksi pembaca atas sajaknya? Apakah ia harus menimbang apakah sajaknya nanti membuatnya masuk penjara?

Saya bilang, lupakan saja semua itu. Menulislah saja tanpa beban. Ingat, menulis adalah bagian dari upaya kita mencintai puisi. Maka, menulislah seakan hanya ada kau dan puisi. Layanilah kehendak puisi dengan sebaik-baiknya. Puaskanlah puisi. Menulislah tanpa peduli siapa dirimu dan bahkan saat itu lupakan saja apa itu puisi. []

Selasa, 04 Oktober 2011

Kepadamu,


Kepada cinta yang terlupa,
Cinta yang sama yang menghilang di sudut tawa berakhir di ekor mata Cinta yang pernah memeluk kita kala langit berubah jingga Yang pernah menawarkan beribu aksara serupa mata intan Cinta yang sama yang tergopoh-gopoh berlari pergi di penghujung malam Menghilang di ujung jalan setapak bernama derita Meninggalkan singgasana hati tanpa tanda

Kepada cinta yang terlupa,
Cinta yang sama yang dulu menggiring kita masuk bergelut di dalamnya Menggerus-gerus menandak-nandak logika menyesak-nyesak jiwa  Cinta yang sama yang sediakala menjadi pelipur segala lara Menjadi obat segala luka Menangkal segala bala Cinta yang sama yang membuatku mengira melihat sesuatu mengapung di matanya seperti cinta Yang membuatku mengira melihat sesuatu mengambang di bibirnya seperti suka

Kepada cinta yang terlupa,
Yang berhamburan entah dimana Yang menyeruak di tiap doa, aku titip dia…


Sabtu, 01 Oktober 2011


ombakpun menyerah pada pantai yang memeluknya, 
serupa pasrahnya sungai pada rengkuhan muara

Kamis, 25 Agustus 2011

ingin lelap malam ini

aku ingin lelap malam ini di tengah tengadah tanganmu yang tak hanya memangkuku saja
aku ingin lelap malam ini di tengah tengadah tangan dinginmu yang hujamkan ngilu sekaligus nyala yang tak luput sayatkan pilu
aku ingin lelap malam ini di tengah tengadah tanganmu saja meski  aku hanya sekelumit cerita lebih kecil dari bagianmu
aku ingin lelap malam ini di tengah tengadah tanganmu
itu saja

di persimpangan idealisme dan tuntutan realitas


//mademoiselle lia


Tuhan, semoga nanti aku menjadi lebih baik dari mereka dalam memahamkan ilmu pada jiwa-jiwa yang sejatinya penuh antusiasme itu”, sebait doa yang tak berlebihan menurutku, yang sempat terucapkan olehnya di waktu itu. Sebait doa yang merupakan refleksi dari sebuah kegusaran akan sebuah sistem, sistem pendidikan yang menjejalkan ilmu untuk kemudian dilupakan pada esok harinya. Sebuah kegusaran yang mewujud dalam sebait doa dan mengejawantah dalam bentuk kerja keras dalam melakukan persiapan hingga ke detil terkecil. Tak heran, perfeksionisme sangat menonjol dalam prosesnya kala itu.

Tetapi apa yang kusebutkan  barusan itu adalah cerita dulu. Beberapa bulan lalu, di saat idealisme dan perfeksionisme berkolaborasi erat membentuk tindakannya. Sekarang, kedua hal itu tengah diuji oleh sebuah elemen bernama realitas. (anggap saja saat ini aku tengah tidak berbicara tentang realitas dari kacamata post-positivisme). Katakan saja, satu hal sudah pasti gugur, yaitu perfeksionisme. Tak mudah dan tak pernah mudah bertahan dengannya di saat manapun di dunia. Jadi, aku maklum dan sangat mafhum ketika ia kehilangan satu elemen itu. Tapi aku yakin,  setidaknya ia ingin mempertahankan satu elemen lagi, yang tanpanya pastilah ia dan segala tindakannya akan kehilangan makna. Idealisme.

Berbicara idealisme pasti tak kan pernah lepas dari cobaan. Maka berbicara idealisme adalah berbicara seberapa mampu sang aktor bertahan memegang teguh keyakinan di tengah gempuran banyak hal. Mulai dari keharusan dan tanggung jawab yang mendefinisi realitas, hingga ke hal-hal kecil namun tak pernah remeh serta persiapan-persiapan kecil namun bermakna besar. Akan ada dan selalu ada hal-hal bernama realitas yang mencoba mendikte, mengalihkan, membelokkan sang aktor dari satu tujuan utama yang telah jauh-jauh hari ditetapkan. Tujuan utama yang tentu saja tak boleh dikhianati oleh jiwa manapun yang mendamba kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Tujuan utama yang terlalu berharga untuk dikorban demi letupan-letupan singkat realitas.

Maka ketika intensitas benturan-benturan realitas sudah semakin berulang, kembalikan saja hal ini pada ketelanjangan mengenai siapa sejatinya diri kita. Mengenai ke-ada-an kita, ke-manusia-an kita. Bukankah tak pernah, dan tak kan pernah ada nirwana setidaknya di dunia yang serba fatamorgana? Oleh sebab itu tetap peluk eratlah idealisme itu tak peduli sekeras apapun hantaman realitas. Tetap peluk eratlah idealisme itu tak peduli akan seperti apapun hasil akhirnya nanti, sebab kita adalah makhluk-makhluk yang tumbuh dan hidup dengan proses, (baca ‘yang instant hanya mie instant’). Bukan hasil akhir yang diperhitungkan, melainkan tindakan-tindakan nyata yang berarti.

“It is not who we are underneath,
but what we do that defines us”-bb.

Selasa, 23 Agustus 2011

Pelangi itu bernama jingga


//C’est


Jika memang jingga yang kau kejar,
ia ada di ujung sana
tengah menunggu saja
sesiapa yang cukup pongah untuk rengkuh dunianya

Jika memang jingga yang kau kejar,
turunkan sauh di sini
sebab takkan tergenapi sisa perjalanan dengan kapalmu
ia tidak dalam tak juga terlampau dangkal
namun melemahkan melelahkan
berjalan sajalah sendiri

Jika memang benar jingga,
Kayuhlah,lepaslah,tinggallah
kemudian biarkan hempas menggamitmu
biarkan debur meluruhmu
biarkan debu menyapumu

sebab ia tak lebih dari jingga,
yang tengah menunggu

tidak perlu punggungi
tidak juga ukirkan siluet pengap gelap,
ia tetap jingga
yang menunggu

Leona yang tengah murung


#
Leona yang tengah murung meratap-ratap menghentak-hentak
Sejenak terhenyak dengan pandangan tengah tersaji di hadapan
Kedua burung kecil warna-warni itu tengah berkasih-kasihan satu sama lain
Mematuk-matuk menengadah mencicit-cicit mengepak-ngepak
Demi memerah mukanya melihat kelakuan mereka

#
Leona yang tengah murung beranjak keatap
Berteriak-teriak pada pohon rambutan rimbun yang tak lagi memberi buah
Berharap mampu tunjukkan sedikit belas kasihan
Sudahlah hidup berputar sendiri di sekelilingnya
Tak pula teranggap ke-ada-annya

#
Mau apa lagi pikir 
Leona yang tengah murung
Kulangkahi saja cerita kukangkangi saja derita
Hendak apa?

#dan ketika...


Sosok perempuan paruh baya teronggok di jalan raya Merayapi lalu lalang para pejalan fana yang sibuk berlari,menyikuti,menggasaki, menggerogoti satu sama lain Terhamparlah diantaranya Serupa siput berupaya beringsut memaksa kaki-kaki keriput menyambangi jingga di ujung tepian

Pukul satu siang dunia fisika Artinya telah ia lewati separuh jatah harinya Kini menjalani sisa ruang dengan sisa umur yang masih dipunya Pukul satu siang dunia fisika Tangisnya pecah Tak kuasa menahankan sikutan gasakan seluruh pejalan fana dunia fisika Pukul satu siang dunia fisika Ia tertumbuk pada satu garis linear bernama hampa

Selasa, 14 Juni 2011

karna perubahan itu niscaya...

lagi-lagi baju untuk kumpulan coretan ini berubah...
karna, perubahan itu memang yang paling niscaya

Rabu, 01 Juni 2011

perihal ombak

1 juni,
dini hari.

kali ini tentang air yang menderas
Serupa riak air yang riang di awal namun berubah ganas di akhir,
tertinggal  jejak di dalamnya

perihal ombak dahsyat serupa badai yang memakuku tepat di tepian amukannya,
beserakan cerita di pusarannya

sedahsyat gemuruhnya, sederas muntahannya
berlarian kisah memunggungi luapan,
ceritapun tamat.
Habis.

Kamis, 19 Mei 2011

cuma titik

hari yang masih sama saja. sama seperti kemarin-kemarin. menghabiskan 2 jam perjalanan dari kantor menuju kostan pengap di pinggiran kota hujan ini. bedanya, tadi singgah sebentar di toko buku. mencari-cari sebuah judul yang dulu pernah kau sarankan untukku baca. cuma itu, ya cuma itu bedanya hari ini.

sisanya, membunuh waktu di atas tempat tidur. memejamkan mata rapat-rapat, mencegah semua gambar-gambar mengerikan itu berputar ulang.

berhasil memejamkan mata, namun tidak dengan membungkam pemikiran, tanganku meraba pemutar musik usang. ya, dulu ini menjadi benda yang istimewa, karna pernah kulemparkan tepat di depan matamu. tanganku mencari-cari, dan berhenti pada sebuah lagu. terdengar lantunan suara khas menyenandungkan lagu ini 'coba kau katakan padaku apa yang seharusnya aku lakukan. bila larut tiba, wajahmu terbayang. kerinduan ini semakin dalam. gemuruh ombak di pantai kuta. sejuk lembut angin di bukit kintamani. gadis-gadis kecil menjajakan cincin, tak mampu mengusir kau yang manis. bila malam mata enggan terpejam, berbincang tentang bulan merah.'
ah, tidak. aku tidak suka lagu ini. kumatikan. kulempar lagi, bedanya kali ini tak ada kamu untuk kulempari lagi dengan benda ini.

enyah saja, enyah saja malam ini. biar besok cepat datang dan aku bisa mengulang semua ini lagi. persis.
persis seperti yang terjadi hari ini.

..............................................

Selasa, 22 Maret 2011

The blackbird comes to a decision (Paulo Coelho)

An old blackbird found a piece of bread and flew off with it. When they saw this, the yonger birds pursued him in order to attack.
Confronted by imminent battle, the blackbird dropped the piece of bread into the mouth of a snake, thingkin to himself.

"When you're old, you see things differently. I lost a meal, it's true, but I can always find another piece of bread tomorrow. However, if I had hung on to it, I would have started a war in the skies; the winner would become the object of envy, the others would gang up on him, hatred would fill the hearts of birds and it could all go on for years"

That is the wisdom of old age: knowing how to exchange immediate victories for lasting conquest.

> hope that we can learn wisdom from this short story of an old bird although we're not old yet. Just don't wait till you're too old to be so.

why do people write?


I asked my self this question a lot. Ya, why do we –human- write? Even in our first year of school or kinder garten, we’ve been announced to a thing named, writing. Even though at that time we just wrote some unclear lines, borders, shapes, and alphabets, but we wrote something.  As we grew older, those unclear lines, borders, and shapes become clearer year by year, and at the end we can write everything that is in our mind. This phenomenon really indicates that writing is a highly important activity in human life so that it is taught in human early years of life. So, what makes it that important?

A research in European countries shows that human writing activity can be traced back to year 4 BC. It reports that writing becomes a highly needed method to keep data and information in administrative works. At that time, writing becomes a permanent and trusted method to record the entire administrative task (Robinson, 2003). Based on this history, we can conclude that one of the importances of writing is to keep permanent memories about something. Well. It is unbeatable, because by writing human can keep the memories and information as long as they want to. Although the writer passed away, his/her memories will last because the writing is stand still. But I believe, writing has a lot more significance such as preventing stress; managing goals; sharing ideas; and convincing others.
Generally speaking, writing can help human dealing with their stress. Some people say that writing is healing. It means that to write your problem means lighten your burden. By writing, human can surge their problem and lighten their burden. Sometimes writing can also come with a solution to the problem. By this mean, stress levels can be decreased or vanished.

Writing can also help human in managing their life goals. A lot of motivator and successful people suggest us to write our dreams in order to make them come true. Writing our goals means focusing our brain and mind to those goals and ensures our body to walk in the right path of success.

The third significance of writing is to share ideas. So many brilliant ideas will remain idea if the people can not share their ideas with others. By sharing good idea with others, the writer contributes to the goodness of society.

At the end of this writing, I can say that –yes- writing is certainly important to keep memories; to cure stress; to manage goals; to share ideas; and also to convince others. In addition to the entire factors above, one thing for sure :  to write is to be happy!! :D

Senin, 14 Maret 2011

hi there...

hi there...
this is the new look of my blogs. quite catchy, rite..? :)

this layout express 'the passion' in me so very much. Hope that this new look-new content can contribute a lot to the readers.

happy reading, everyone out there.. :)

Rabu, 02 Maret 2011

sendiri, dan koloninya

Sudah berpuluh bahkan beribu kali dua puluh empat jam aku telah  habiskan dengan diriku sendiri, sayang. Sudah selama itu pula aku mulai mengakrabi sepi, menjamu sendiri. Aku telah melumat sekaligus mengakrabinya. Ya, sudah lama. Sudah lama sekali, sayang. Aku sudah mencintai kesendirian seada-adanya ia..

Tak perduli betapa ia kadang menghempas-hempaskan selagi merobek semangatku hingga kuyu, layu, tak bersisa. Di lain waktu ia malah dengan pongah mengagregasinya sedemikian rupa hingga aku tak dapat dihentikan. Ya, itulah dia yang telah aku lumat sekaligus melumatku, yang telah aku akrabi selagi ia akrabiku, yang telah aku cintai seada-adanya ia..

Sekarang, kau bisa lihat, sayang.. Betapa aku sudah menjadi karib dengannya. Sudah terlanjur begitu akrab dengan dia yang dahulu teramat aku benci.

Sayang, kamu tahu? Sebentar lagi ia juga akan meninggalkanku. Seperti semua hal yang sudah terlanjur menjadi tabiat karna biasa.Ia juga akan pergi, sama seperti semua hal lainnya. Pergi, berganti... Sedangkan aku, aku akan belajar lagi, dari awal, untuk mengakrabi, menjamu, mencinta koloninya yang akan segera datang. Mengakrabi, menjamu, dan mencintainya seada-adanya. Seperti dahulu aku mengakrabi kesendirian yang kini telah akan pergi.

bilangan mungkin

Bukan, aku bukan ahli membaca masa depan. Pun bukan manusia berkekuatan magis. Hanya saja, hati yang sudah terpaut terlampau dalam, hingga mampu merasamu. Mungkin detaknya sudah terlalu menyatu, mungkin geombangnya sudah terlanjur sinkron. Atau mungkin, ada kisah telah menunggu untuk ditapaki di jalan bersimpangan ini.

 Ya, memang hanya bilangan mungkin mampu ku utarakan sebagai penawar sebuah tanya yang pernah terlontar. Karna tak siapapun mampu menjawab dengan pasti, maka kali ini aku hanya mampu mengakhirkan dengan koma, bukan titik,

Jumat, 28 Januari 2011

Menunggu adalah.....

Aku tidak bisa memaksa mata untuk mengalihkan pandangan dari jam dinding. Tidak bisa menahan telinga dari berusaha keras menangkap deru suara kendaraan. Tidak bisa mengontrol jantung yang berdegub terlampau cepat, pertanda hatiku sedang cemas. Tidak dapat juga menghentikan otak untuk berpikir, apa yang menahannya untuk tidak pulang padaku kali ini

Di luar, kegelapan sudah semakin pekat, dan langit mulai bergermuruh hebat. Sudah empat jam berlalu sejak aku terduduk di kursi goyang di teras ini. Pada akhirnya, di saat jam dinding tepat menunjuk angka 12, aku menyerah. Mungkin tidak hari ini, pikirku

Aku kembali masuk dengan tubuh yang semakin gemetaran. Memang, sudah dua bulan belakangan ini tubuh tuaku tak bisa lagi menahan paparan cuaca dingin untuk waktu yang lama. Menunggunya di kamar saja, batinku. Aku berjalan melewati teman-teman lain yang berkumpul di ruang santai. Terbius oleh sebuah kotak ajaib bercahaya ukuran 21 inci itu. Aku bahkanmeyakini, sebagian besar dari mereka tidak benar-benar mengerti apa yang tengah ditayangkan kotak bercahaya itu. Tapi sudahlah,  malam ini aku tak mau peduli dulu tentang itu.

Aku terus berjalan ke kamar, dengan susah payah menyeret kedua kakiku yang sudah menjadi sangat lemah ini. Naik ke tempat tidur dan menarik selimut tipis dan usang ini, mencoba membenamkan diri dalam-dalam. Menekan kuat-kuat rasa kecewa dan tersisihkan yang sudah kutelan selama beberapa tahun lamanya. Rasa terpinggirkan yang memang sudah menjadi makanan sehari-hari.

Ternyata, lagi-lagi, tidak hari ini Ros menjemputku

Dalam pelukan selimut tua ini, bayangan Ros melintas-lintas. Ros yang begitu lucu dan jenaka saat masih ada di pangkuanku, Ros yang merupakan anak cerdas di sekolahnya, Ros yang lulus kuliah dengan predikat sangat memuaskan, ahhh Ros yang cantik,yang cerdas, yang merupakan kebanggaanku. Anak semata wayangku yang kugadang-gadang akan menjadi orang sukses nantinya

Memang tidak salah, dia – anakku tersayang itu- telah menjadi orang besar, orang sukses.  Karna itulah, ia tidak bisa lagi membawaku serta saat ia harus ditugaskan di suatu tempat yang katanya jauh sekali. Oleh sebab itu, aku yang menumpang hidup padanya, terpaksa ia titipkan di sini, di panti ini. Walau bersikeras masih dapat menjaga diriku sendiri, ia menolak. Ia tak bisa menerima. Dan pada akhirnya menempatkanku di sini, bersama banyak orang tua terlantar lainnya. Sebenarnya amat perih, Ros-ku yang kugadang-gadang, meminggirkan aku dari hidupnya. Tapi toh, waktu beberapa tahun sudah terlewati, dan Ros berjanji akan kembali untuk menjemputku

Ahh, Ros-ku yang cantik, kalau memang tidak hari ini tak apalah,, Semoga esok kamu datang dan membawaku bersamamu

**

Ahhh, akhirnya

Di suatu pagi yang amat cerah, Ros datang. Ia datang dengan gaun pendek merah cerah, yang membungkus tubuh indahnya itu dengan sempurna. Ia memeluk sekantung besar bunga lili-kesukaanku. Tidak salah lagi, itu Ros. Dia memang cantik, bahkan terlihat lebih cantik dari terakhir kali aku melihatnya, saat ia mengantarkanku ke tempat ini. Ia turun dari mobil, senyumnya mengembang, ia berlari ke arahku. Segera mendekapku, memelukku erat..  Aku balas merangkulnya, meluapkan perasaan sayangku untuknya yang telah menunggu bertahun-tahun lamanya. “Kenapa lama sekali,Ros?” gumamku. Ia  gusar, seperti tak ingin menjawab, hanya menciumi wajahku saja

Ia akhirnya berkata “Maaf, membuat mama menunggu lama.. Tapi sekarang, Ros sudah selesai dengan semuanya. Sekarang hanya kita berdua. Ayo mama, kita pulang sekarang.. “
Aku tersenyum lega, aku menangis haru, , dan hanya bisa berkata, 
“Ahhhhhhh,akhirnya………..”

**

Pagi itu, seorang wanita paruh baya dengan dandanan kusut, melangkah tergesa ke sebuah unit instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit. Terlihat sekali, ia belum sempat membenahi dirinya dan langsung berangkat menuju rumah sakit yang disebutkan oleh pemilik panti werdha yang menghubunginya tadi subuh. Kebingungan, ia melongok setiap kamar yang dilalui, hingga akhirnya sampai di sebuah kamar. Pandangannya tertumbuk pada sosok renta seorang wanita tua berkulit putih pucat, rambut yang telah tipis dan putih seputih perak, mata yang terpejam, serta bibir mengukir semburat senyum. Selain ciri fisik yang dikenal betul oleh perempuan paruh baya itu, deru nafas dan denyut nadinya sudah tak terasakan lagi

Dokter menutup seluruh tubuhnya dengan sebuah selimut tipis

*

Sebelum semuanya telah begitu terlambat, lebih baik sekarang bukan

#  Bunga lili yang dikenal dalam bahasa latin sebagai Lilium longiforum, berbentuk piala atau terompet panjang, besar, berwarna putih, dan berbau harum. Bunga ini sering dianggap sebagai lambang kemnurnian oleh bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi kuno. Sebutan ‘lilium’ berasal dari bahasa Yunani ‘leirus’ yang berarti lembut dan licin.

Kamis, 27 Januari 2011

LOTS OF LAUGH, LOTS OF LOVE

Kita pernah bersama-sama di satu rentang waktu kan?

Di masa semuanya bukanlah soal yang terlalu penting, tidak begitu penting selama kita terus bersama-sama, berbagi, dan tertawa.

Di masa itu, kita bagi segalanya, hingga tak ada ruang bahkan untuk yang namanya rahasia. Tak ada ketakutan menumpahkan segala  cerita termasuk bagian terburuk  dari diri kita sekalipun – karna kita tau, sahabat tak mengadili, tak juga menghakimi. Cukup mendengarkan dengan sedikit dibumbui kebawelan dan, tentu saja, lots of laugh, lots of love :D . Mendengarkan, berbagi, dan tertawa, itulah ritual kita. Ya kan, gaiss?

Sayangnya, waktu tak mau lama-lama berdiam di satu titik. Karna konon kabarnya, satu-satunya hal yang tetap, pasti, dan niscaya, adalah perubahan. Bukankah itu juga yang terjadi pada kita? Masa itu, satu rentang waktu itu, sudah pergi, hilang, menguap, hingga tak bisa tergenggam lagi. Namun begitu, satu masa itu -ya rentang waktu yang itu- cukup mengisi hati kita dengan kehangatan, kebahagiaan, juga kasih sayang, sebagai bekal menjejakkan langkah ke depan, ke bilangan waktu yang sudah menanti di depan.

Sekarang, kita berada di masa sekarang. Sebuah masa yang disebut sebagai kekinian, KINI, PRESENT, bukan past ataupun future. Inilah kita, teman… Menjejak di atas bayangan kita tepat pada masa sekarang. Tergiring ke berbagai arah yang semakin mementalkan dimensi fisik antara kita.

Sekarang, di sini… di atas bayanganku sendiri. Di ordinat ini, di ruang yang terentang cukup jauh dari kalian, aku merindukan semuanya.  Merindukan berbagi, merindukan mendengarkan, merindukan tertawa bersama kalian. Merindukan moment yang aku pilih untuk disebut dengan,
lots of laugh lots of love…
once upon  time