Tampilkan postingan dengan label love. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label love. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Oktober 2011

Kepadamu,


Kepada cinta yang terlupa,
Cinta yang sama yang menghilang di sudut tawa berakhir di ekor mata Cinta yang pernah memeluk kita kala langit berubah jingga Yang pernah menawarkan beribu aksara serupa mata intan Cinta yang sama yang tergopoh-gopoh berlari pergi di penghujung malam Menghilang di ujung jalan setapak bernama derita Meninggalkan singgasana hati tanpa tanda

Kepada cinta yang terlupa,
Cinta yang sama yang dulu menggiring kita masuk bergelut di dalamnya Menggerus-gerus menandak-nandak logika menyesak-nyesak jiwa  Cinta yang sama yang sediakala menjadi pelipur segala lara Menjadi obat segala luka Menangkal segala bala Cinta yang sama yang membuatku mengira melihat sesuatu mengapung di matanya seperti cinta Yang membuatku mengira melihat sesuatu mengambang di bibirnya seperti suka

Kepada cinta yang terlupa,
Yang berhamburan entah dimana Yang menyeruak di tiap doa, aku titip dia…


Selasa, 28 September 2010

pray, it is....


Ya Allah, sesungguhnya aku memohon cintaMu, cinta orang-orang yang mencintaiMu dan amal yang dapat mengantarku pada cintaMu. Ya Allah, jadikan cintaMu lebih aku cintai dari diriku sendiri, keluargaku dan dari air yang dingin

Selasa, 26 Januari 2010

a lovely joyous kind-hearted mother ever...




Yes, its you,,,, its so you, mother. All those adjectives illustrate you.. yet, they’re not special enough to describe how amazing and marvelous you are. You are the best miracle happen to me, and the greatest gift God gave me.. I should thank God for sending me a guardian angel like you. This letter might not reach you or your front door to be read, mother. But still, I need to convey the world how lucky I am, how blessed I am, to have you as my dearest mother…

Yes, it’s you mother that is standing still for me when no one else won’t…yes, it’s you that still put your highest faith on me,,, yes, it’s you that listen every grumble spokes out of my mouth,,yes it’s you that patiently guide me elapse every nuisance I face,, ,yes, it’s you that always serene in facing me and all snag I take along,,, yes, it’s you that still cherish me even though so many times I let you down,, ,yes, it’s you,,It is all you, mother…

you are the one, the only one that treat me this way..
this thoughtful way.. it is you…it is just you..

I love you more than you or anyone could imagine..
hope I can bring you radiance that you always want, one day…

good night mother,,
let my love embrace your slumber cuz,
a new day is waiting for you to be blazed..

Minggu, 04 Oktober 2009

mon ange


"Dalam tiap keharuan yang membiru kulihat bilur-bilur kesedihan di matanya. Mata itu, mata yang selalu basah, begitu bening dan jernih. Ah, apa gerangan yang tersimpan dibalik sepasang mata indah itu. Kebahagiaankah? Atau malah sebaliknya? Tak seorangpun dibiarkan melihat lebih jauh dari mata bening jernihnya itu. Senyum yang terulas di sepanjang deretan gigi putih bersihnya itupun tampaknya tak mampu tuk menguak tabir rahasia hidupnya."

Pagi itu kulihat dia berjalan sendirian di halaman berumput di belakang Menara Lonceng. Keriut sepatunya diantara rerumputan basah itupun bisa menjadi suatu nada yang indah bagiku di hari sepagi itu. Kemudian tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon Akasia. Memegangi bagian kepalanya, dan tiba-tiba ia menangis. Uh, apa yang terjadi pada bidadari pagiku? Mengapa ia membuat pagi yang cerah ini menjadi hampa seketika saat dijatuhkannya bulir-bulir air mata dari sepasang mata indahnya itu. Mata indah itu tak pantas berduka maupun terluka. Ingin kudatangi dan peluk dia. Tapi bagaimana bisa? Aku begitu tak mampu, dan lagipula memang tak pantas tuk berada di sampingnya. Kuurungkan niat tuk mendatangi dan memeluknya, dan tetap memilih tuk mengamatinya saja dari sini, dari jauh. Hingga dia tak kan pernah mengetahui bahwa aku ada di sini, memerhatikannya. Ia menutupi mukanya dengan sehelai saputangan, dan tangisnya semakin menjadi. Ia menangis sesenggukan. Aku iba padanya. Sungguh. Tapi yang terjadi pada menit berikutnya malah tangisnya berhenti seketika. Muka polos dan lucu itu disekanya dengan sapu tangan hingga tak satu tetes air matapun tersisa di wajahnya. Ia menarik nafas panjang, berusaha menghirup sebanyak-banyaknya oksigen. Seakan itu akan dapat menguatkannya. Dan benar saja, ia kelihatan lebih tegar pada detik berikutnya. Matanya membulat dan bibirnya melengkung membentuk senyum lega. Ia telah bangkit, berdiri dengan tegak. Hanya berdiri saja. Disitu. Berjam-jam. Matanya dipejamkan dengan wajah menengadah dan senyum di bibir manisnya itu. Rambutnya dipermain-mainkan oleh angin. Ia kini benar-benar terlihat bagai bidadari bagiku. Tapi ia hanya berdiri saja di situ. Lama. Seperti menanti sesuatu. Sesuatu yang begitu berarti buatnya. Buat seorang bidadari

Hari kemarin, aku juga sedang mengamatinya di halaman ini. Halaman berumput di belakang Menara Lonceng. Ia sedang duduk sendirian di bawah batang pohon Akasia. Pohon yang sama dengan hari ini. Tapi saat itu kulihat ia sedang terlelap, kukira. Matanya terpejam, menunujukkan kelopak mata yang berhiaskan bulu mata lentik dan panjang. Cantik nian. Namun sayang, sedang bersedih kelihatannya. Mulutnya dikatupkan, sesekali bergetar menyebut sesuatu. Tangannya disedekapkan di depan dada, seperti memeluk sesuatu. Namun kulihat tak ada satu benda pun yang tengah didekapnya. Kemudian, satu tetes air bening jatuh dari mata bening yang tengah tertutup itu. Jatuh tepat dalam dekapnya. Ia membuka matanya. Berkaca-kaca. Aku berlari, segera. Namun bukan ke arahnya. Aku berlari membelakanginya, menjauhinya. Aku tak tahan melihat mata bening itu sedang terluka. Aku sangat peduli padanya, namun tak mampu menunjukkan diri di hadapannya. Aku tak pantas. Sangat tak pantas….

Dua hari sebelum hari ini, di halaman berumput ini. Bidadari pagiku bersama seorang laki-laki duduk dan saling berbicara di bangku, di bawah pohon Akasia besar. Bayangnya menaungi mereka berdua. Satu sama lain saling memperhatikan dengan khidmat atas tiap susunan huruf tak alfabetis yang meluap dari bibir masing-masing. Diselingi tatap dan harap, satu sama lain berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Keduanya akhirnya mengangguk, tanda telah memiliki pemahaman yang sama atas hal yang tengah dibicarakan. Tapi tiba-tiba jemari lentik bidadariku diraih oleh orang itu. Digenggam. Lama, kemudian baru dilepaskan. Aku berontak! Meronta! Tak rela bidadariku disentuh orang itu. Tapi bidadariku hanya tersenyum, senyum pahit menurutku. Karna matanya tak tunjukkan pancaran bahagia. Ada apa, Bidadari? Katakanlah sesuatu, biar aku tahu isi hatimu. Walau tak bisa kuobati namun dapat kudengar dan perhatikan agar legakan hatimu. Katakan, Bidadari. Mata beningmu tak mampu dustaiku. Kemudian tiba-tiba orang itu melangkah, menjauh dari bidadariku. Sesekali ia menoleh. Namun bidadari pagiku nan indah tak bergeming sama sekali. Mulutnya yang terkatup rapat berusaha gumamkan sesuatu. Sesuatu yang tak dapat kutangkap maknanya dengan jelas. Tapi satu yang kuketahui dengan pasti, bidadariku sedang berputar-putar dalam pusaran keharuan yang membiru. Yang hadirkan bilur-bilur kesedihan dalam mata bening dan jernihanya yang kini berkaca-kaca. Langkah orang itu semakin cepat meninggalkan bidadariku sendirian. Bidadariku masih berdiri, di sana. Sendirian. Tanpa mampu kuhampiri.

Tiga hari sebelum hari ini, ia juga berada di halaman berumput ini. Namun, kala itu ia menari penuh riang. Tertawa gembira bersama dedaunan dan sapuan angin hangat khas musim semi. Riangnya menambah hangat perasaanku kala itu. Tapi tentu saja, aku tetap di sini, mengamatinya. Karena ia disana menari dan menyenandungkan ritme-ritme hangat, bersama seseorang lain. Bukan, itu bukan aku. Aku yakin itu. Orang itu bukanlah aku...


(this one is still my fave.
this story was written in 2006, when everything seems to be good)