Sabtu, 02 Juni 2012

time flies!

well well this blog has been existing for several years,i think. and in those period of time it has been a loyal companion for me. back in time,i just realized that i transformed. yes, i did. through my writings i can 'read' my flow - where life takes me. oh dear God, i just think how fast time flies. sometimes i just feel like i'm still a senior high student with all  problems and stories within. but now i suddenly see my self as a grown up, having a small happy family of my own, having one cute son that always surprises me in every way, living a life that - i can say- i never imagined before. owhhh time really does fly!


Selasa, 14 Februari 2012

Sungai Kehidupan

Seorang pria mendatangi seorang Guru. Katanya, "Guru, saya sudah bosan hidup. Benar-benar jenuh. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau.
Apapun yang saya lakukan selalu gagal. Saya ingin mati."
Sang Guru tersenyum, "Oh, kamu sakit."
"Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu bernama, 'Alergi Hidup'. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan."
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan.
Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan keadaan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir.  Itu sebabnya kita  jatuh sakit.  Kita mengundang penyakit. Penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.

 
Usaha, pasti  ada pasang-surutnya. Dalam berumah-tangga, pertengkaran kecil itu memang wajar. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang abadi dalam hidup  ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.
"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu benar-benar bertekad ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku." kata sang Guru.
"Tidak Guru, tidak. Saya sudah  betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup." Pria itu menolak tawaran sang Guru.
"Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?"
"Ya, memang saya sudah bosan hidup."
"Baiklah. Kalau begitu besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini.
Malam nanti, minumlah separuh isi botol ini. Sedangkan separuh sisasnya kau minum besok sore jam enam. Maka esok jam delapan malam kau akan mati dengan tenang."
Kini, giliran pria itu menjadi bingung. Sebelumnya, semua Guru yang ia datangi selalu berupaya untuk memberikan semangat hidup. Namun, Guru yang satu ini aneh. Alih-alih memberi semangat hidup, malah menawarkan racun.
Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.
Setibanya di rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut "obat" oleh sang Guru tadi. Lalu, ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu  santai! Tinggal  1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah.
Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.
Ini adalah malam terakhirnya. Ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil  makan, ia bersenda gurau. Suasananya amat harmonis. Sebelum  tidur, ia mencium bibir istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu."  Sekali lagi, karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin  meninggalkan kenangan manis!
Esoknya, sehabis bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar.
Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Setengah jam kemudian ia kembali ke rumah, ia menemukan istrinya masih  tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Sang istripun merasa aneh sekali,  "Sayang, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, sayang."
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Bos kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu disekitarnya berubah.  Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan menghargai terhadap  pendapat-pendapat  yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai  menikmatinya.
Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, "Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu."
Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu tertekan karena perilaku kami."
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?
Ia mendatangi  sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung  mengetahui apa yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya air  biasa. Kau sudah sembuh. Apabila kau hidup dalam kekinian,  apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan.  Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan  bosan. Kau akan merasa  hidup.
Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan."
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah  sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!

Have a positive day!
 “ANDA lah yang menCIPTAkan REALITA Anda Sendiri

*Thanks luv, for sharing this story. May this stoy inspires us all.
Live the Life, everyone!! ;D

Senin, 13 Februari 2012

Our allies by Paulo Coelho on February 13, 2012

Our allies will not necessarily be the kind of dazzling people to whom everyone looks up and of whom they say: ‘There’s none better.’
On the contrary, they are people who are not afraid of making mistakes and who do, therefore, make mistakes, which is why their work often goes unrecognized.
Yet they are just the kind of people who transform the world and, after many mistakes, manage to do something that can make a real difference in their community.
They are people who can’t bear to sit around waiting for things to happen in order to decide which attitude to adopt; they decide as they act, well aware that this could prove highly dangerous.
Living with such people is important because we need to realize that before we face our goal, we must first feel free enough to change direction.
Join with all those who experiment, take risks, fall, get hurt and then take more risks.
Stay away from those who affirm truths, who criticise those who do not think like them, people who have never once taken a step unless they were sure they would be respected for doing so, and who prefer certainties to doubts.
Join with those who sing, tell stories, take pleasure in life, and have joy in their eyes, because joy is contagious and can prevent others from becoming paralysed by depression, loneliness and difficulties.

*this writing was taken from Paulo Coelho's blog at http://paulocoelhoblog.com

Jumat, 11 November 2011

Blowing in The Wind


How many roads must a man walk down
Before they call him a man?
How many seas must a white dove sail
Before she sleeps in the sand?

How many times must the cannonballs fly
Before they're forever banned?
The answer, my friend, is blowing in the wind
The answer is blowing in the wind.

How many years must a mountain exist
Before it is washed to the sea?
How many years can some people exist
Before they're allowed to be free?

How many times can a man turn his head
and pretend that he just doesn't see?
The answer, my friend, is blowing in the wind
The answer is blowing in the wind.

How many times must a man look up
Before he can see the sky?
How many ears must one man have
Before he can hear people cry?

How many deaths will it take till he knows
That too many people have died?
The answer, my friend, is blowing in the wind
The answer is blowing in the wind.

Rabu, 05 Oktober 2011

Renungan 255 - Hasan Aspahani

*Taken from Hasan Aspahani >sejuta-puisi.blogspot.com

APA yang harus ada di kepala saat seseorang menulis puisi? Apakah ia harus menentukan ia hendak menulis sajak liris atau sajak protes? Apakah ia hendak menulis untuk dirinya sendiri atau untuk siapa yang kelak membaca sajaknya? Apakah ia harus menimbang-nimbang apa kelak reaksi pembaca atas sajaknya? Apakah ia harus menimbang apakah sajaknya nanti membuatnya masuk penjara?

Saya bilang, lupakan saja semua itu. Menulislah saja tanpa beban. Ingat, menulis adalah bagian dari upaya kita mencintai puisi. Maka, menulislah seakan hanya ada kau dan puisi. Layanilah kehendak puisi dengan sebaik-baiknya. Puaskanlah puisi. Menulislah tanpa peduli siapa dirimu dan bahkan saat itu lupakan saja apa itu puisi. []

Selasa, 04 Oktober 2011

Kepadamu,


Kepada cinta yang terlupa,
Cinta yang sama yang menghilang di sudut tawa berakhir di ekor mata Cinta yang pernah memeluk kita kala langit berubah jingga Yang pernah menawarkan beribu aksara serupa mata intan Cinta yang sama yang tergopoh-gopoh berlari pergi di penghujung malam Menghilang di ujung jalan setapak bernama derita Meninggalkan singgasana hati tanpa tanda

Kepada cinta yang terlupa,
Cinta yang sama yang dulu menggiring kita masuk bergelut di dalamnya Menggerus-gerus menandak-nandak logika menyesak-nyesak jiwa  Cinta yang sama yang sediakala menjadi pelipur segala lara Menjadi obat segala luka Menangkal segala bala Cinta yang sama yang membuatku mengira melihat sesuatu mengapung di matanya seperti cinta Yang membuatku mengira melihat sesuatu mengambang di bibirnya seperti suka

Kepada cinta yang terlupa,
Yang berhamburan entah dimana Yang menyeruak di tiap doa, aku titip dia…


Sabtu, 01 Oktober 2011


ombakpun menyerah pada pantai yang memeluknya, 
serupa pasrahnya sungai pada rengkuhan muara