*Taken from Hasan Aspahani >sejuta-puisi.blogspot.com
APA yang harus ada di kepala saat seseorang menulis puisi? Apakah ia harus menentukan ia hendak menulis sajak liris atau sajak protes? Apakah ia hendak menulis untuk dirinya sendiri atau untuk siapa yang kelak membaca sajaknya? Apakah ia harus menimbang-nimbang apa kelak reaksi pembaca atas sajaknya? Apakah ia harus menimbang apakah sajaknya nanti membuatnya masuk penjara?
Saya bilang, lupakan saja semua itu. Menulislah saja tanpa beban. Ingat, menulis adalah bagian dari upaya kita mencintai puisi. Maka, menulislah seakan hanya ada kau dan puisi. Layanilah kehendak puisi dengan sebaik-baiknya. Puaskanlah puisi. Menulislah tanpa peduli siapa dirimu dan bahkan saat itu lupakan saja apa itu puisi. []
Tentang kisah, lintasan pemikiran, serta cerita-cerita ringan, sering juga menjadi tempat kontempelasi
Rabu, 05 Oktober 2011
Selasa, 04 Oktober 2011
Kepadamu,
Kepada cinta yang terlupa,
Cinta yang sama yang menghilang di sudut tawa berakhir di ekor mata Cinta yang pernah memeluk kita kala langit berubah jingga Yang pernah menawarkan beribu aksara serupa mata intan Cinta yang sama yang tergopoh-gopoh berlari pergi di penghujung malam Menghilang di ujung jalan setapak bernama derita Meninggalkan singgasana hati tanpa tanda
Kepada cinta yang terlupa,
Cinta yang sama yang dulu menggiring kita masuk bergelut di dalamnya Menggerus-gerus menandak-nandak logika menyesak-nyesak jiwa Cinta yang sama yang sediakala menjadi pelipur segala lara Menjadi obat segala luka Menangkal segala bala Cinta yang sama yang membuatku mengira melihat sesuatu mengapung di matanya seperti cinta Yang membuatku mengira melihat sesuatu mengambang di bibirnya seperti suka
Kepada cinta yang terlupa,
Yang berhamburan entah dimana Yang menyeruak di tiap doa, aku titip dia…
Langganan:
Postingan (Atom)